Engineer. Kesan yang timbul dari kata ini kadang membuat saya
ngeri sekaligus kagum. Ngeri, karena terbayang tanggung jawab besar yang harus
diemban oleh orang-orang dengan profesi ini. Kagum, karena para insinyur mengemban
tugas kemanusiaan yang besar, untuk menyediakan berbagai sistem dan piranti
yang menunjang hidup kita.
Pemikiran tersebut tidak datang
ketika saya memilih untuk mengambil jurusan Teknik Sipil di sebuah universitas
di Yogyakarta. Sekali pun tidak pernah terbayang! Setelah semakin dewasa saya
perlahan mengerti bahwa menjadi seorang insinyur adalah sebuah keputusan yang sangat
serius. Pemikiran ini semakin memuncak ketika saya makarya ke Jakarta setelah menuntaskan studi S1.
Menjadi seorang engineer di sebuah perusahaan konsultan sipil memberikan
pengetahuan dan pengertian baru mengenai bidang konstruksi sipil. Banyak
masalah konsultan yang saya temui mulai dari hal-hal baru, rutin, menantang, lawas,
dan bahkan sama sekali tidak mutakhir yang belum pernah saya hadapi di bangku
kuliah! Saya tidak tahu sebelumnya kalau desain dan perhitungan saya bisa saja
menjadi sia-sia ketika owner mengubah
pendiriannya. Saya tidak mengira perhitungan fondasi yang sudah saya keluarkan ternyata
harus “diimprovisasi” karena warga di sekitar lokasi proyek mengancam akan menyabotase
mesin pancang yang mengganggu.Singkat kata, saya seperti seorang balita yang
baru belajar mengeja kata pertamanya: glagapan.
Bolehlah teman-teman bilang saya tukang
TA (Titip Absen) selama kuliah kalau hanya saya seorang yang menghadapi masalah
ini. Tetapi ternyata sebagian besar—kalau tidak mau menyebut semua—teman saya
mengalaminya! Lambat laun saya mengerti bahwa inilah dunia teknik sesungguhnya,
selalu bermuka-mukaan dengan masalah yang seringkali tidak teoretis, tidak
selalu textbook-based. Bukan berarti
dasar teori dan keilmuan di kampus itu tidak penting. Malah sebaliknya! Teori dan
dasar-dasar berpikir yang dilatih di kampus akan diperkaya dan diuji dengan
masalah-masalah di lapangan yang menuntut praksis dan fleksibilitas.
Disiplin, cermat, kritis, dan tekun
adalah harga mati bagi seorang insinyur. Itu adalah hal yang paling saya camkan
di dalam pikiran. Beberapa orang harus meresapkan karakter-karakter tersebut dengan
cara-cara yang kadang tidak mengenakkan (malah curhat...). Teman-teman sesama insinyur
sipil muda tidak harus mengalami hal tersebut untuk menjadi insinyur
yang baik. Walaupun masih balita di dunia konstruksi sipil, saya ingin sekali
membagikan sedikit ilmu saya kepada teman-teman yang akan terjun ke dalam
bidang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar